top of page

Kehidupan Masyarakat Local Lombok

  • Irwan cipiero
  • Feb 4, 2017
  • 11 min read

Kearifan Lokal Suku Sasak

Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan local dalam mengatur system social kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai lembaga adat, persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung sebagai penyimpan cadangan air, pengaturan system tanam, penggunaan pupuk alam dan pemberantasan hama. Seperti misalnya system tanam padi gogo rancah (GORA) sekitar 1978, oleh karena pada saat masyarakat mengalami kondisi kekurangan bahan makanan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya kelaparanpada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu besar, maka secara tiba-tiba timbul upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk mengatasi hal tersebut.

Etnik sasak yang mendiami pulau Lombok (berasal dari kata sak-sak Lombok. Artinya, hanya jalan lurus satu-satunya jalan sejati yang harus dilalui demi keselamatan dunia dan akhirat). Secara bahasa istilah kesukuan masyarakat Lombok yang disebut “sasak” sesungguhnya berarti juga ragam, corak dan keberbagaian yang niscaya[4]. Jumlah komunitas etnik sasak sebagai suku bangsa asli yang mendiami pulau Lombok lebih kurang 90%. Etnik sasak adalah pemeluk agama islam cultural dengan tradisi agama yang sangat kuat dan fanatic. Islam sebagai dasar filosofi hidupnya terlihat kental dalam praktek dan tradisi hidup keseharian yang terekspresi dengan bengunan masjid yang besar dan megah melampaui kemampuan real daya dukung ekonominya[5]

Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Karena itu sikap yang etik yang dikembangkan masyarakat sasak setidaknya juga tercermin dari petuah para orang tua yang dapat disimpulkan dalam ungkapan-ungkapan berikut : Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq mum gaweq bayoq eam daet (baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan), piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng, tunjung tilah. Masyarakat memahami bahwa seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan saling terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka mahluk yang berada dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula.

Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun lebih merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan. Karena kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan agama tentang makna kekhalifahan manusia yang menjadi tujuan penciptaan di muka bumi, maka tidak heran bila puluhan bahkan ratusan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw yang dijadikan landasan dalam berpijak guna tercapainya kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pola kehidupan yang relative tetap memiliki aturan dasar yang turun temurun dan menjadi norma hidup dari komunitas masyarakat sasak. Aturan norma ini disimbulkan dengan “”buku-ngawan karena kehidupan itu mesti teratur dan memiliki aturan seperti halnya alam semesta. Dari mana memulai membangun “bale-langgak” (rumah dan kelengkapannya), berugaq-sekepat, alang-sambi, leah-lambur, jebak, pengorong, kemudian menjadi pemukiman dengan istilah “gubug-gempeng” dan seterusnya sehingga terbentuklah “dise-dasan”. Secara harmonis kehidupan “dise-dasan” sangat erat hubungannya dengan lingkungan alam sekitar, khususnya berhubungan dengan istilah “epe-aik” yang menjadi sumber dari segala sumber hidup dan kehidupan komunitas masyarakat sasak.

Berdasarkan aturan adat budaya ini, maka muncul budaya tradisional masyarakat sasak yang tidak lepas dari pola trinitaris dasar yakni : pertama, “epe-aik” sebagai pemilik yang maha kuasa atas segala asal kejadian alam dan manusia. Kedua, “gumi-paer” sebagai tanah tempat berpijak di situ langit dijunjung, karena di “gumi-paer” ini masyarakat sasak dilahirkan. Diberi kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. Ketiga, “budi-kaye” yang merupakan kekayaan pribadi dari kesadaran akan “budi-daye” Sang Hyang Sukseme yang menurunkan “akal-budi” pada setiap diri manusia untuk mendapatkan kemuliaan hidup yang akan dibawa sampai meninggal dunia. Ketiga hal inilah yang akan mewarnai setiap pandangan, ucapan dan perbuatan masyarakat sasak menjadi adab budaya yang tidak hanya diukur dengan hasil karya secara material namun yang lebih penting adalah nilai-nilai yang diperoleh selama hidup yang tercermin dari pelaksanaan adat istiadat mereka[6] Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local terpadu yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam hidup bermasyarakat tanpa konflik yang melibatkan kearifan budaya local dapat bersinergi, harmonis dan menguntungkan manusia dan lingkungnnya.

Ketika terjadi konflik terbuka antara dua desa di Kabupaten Lombok Tengah, banyak orang -terutama para pakar yang mempertanyakan eksistensi institusi kearifan local masyarakat dengan ungkapan “Masih fungsionalkah kearifan local ini?” atau “sudah tidak fungsional!” Pertanyaan maupun pernyataan semacam itu tidak lain merupakan ekspresi keterkejutan mereka. Di suatu daerah yang memiliki institusi yang sejak dulu sangat dikagumi karena mampu mengatur kehidupan bersama, sekurang-kurangnya dalam hidup berdampingan sesama warga atau dalam hidup antara penganut agama yang berbeda, namun kemudian di antara dua desa itu tiba-tiba terjadi konflik terbuka dengan intensitas yang tinggi dan berkepanjangan, sehingga menelan tidak hanya harta benda namun korban jiwa sebagai taruhannya. Padahal, sebelumnya melalui institusi kearifan lokal mereka dapat hidup harmonis, bahkan dapat berinteraksi dalam bentuk kerja sama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan kemasyarakatan.

Memang Kabupaten Lombok Tengah bukan satu-satunya daerah konflik di Indonesia. Sebelum dan bersamaan waktu dengan konflik di Kabupaten Lombok Tengah serta sesudahnya, banyak terjadi konflik di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang homogen, seperti Bali, juga tidak luput dari konflik, yaitu konflik terbuka antar banjar. Padahal di Bali terdapat institusi yang sangat terkenal, yaitu awig-awig. Sebelumnya awig-awig juga dikagumi karena mampu mengatur kehidupan masyarakat, sehingga dapat hidup harmonis. Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki norma yang dipegangi oleh masyarakat untuk meredam konflik, yaitu desa kala patra. Konsep desa kala patra yang juga disebut triloka ini menjadi pedoman yang dipakai secara luas dalam pelaksanaan ajaran keagamaan masyarakat Hindu Bali dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan -hampir semua- ajaran Hindu selalu mempertimbangkan prasyarat tempat yang semestinya, waktu yang tepat dan keadaan yang memungkinkan. Artinya, dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu terdapat elastisitas akibat pengaruh tempat,perkembangan zaman dan kondisi sosial yang dipunyai masyarakat yang bersangkutan.[7] Dengan kata lain, dengan adanya norma desa kala patra ini, masyarakat Bali sadar akan adanya berbedaan dan dapat menerima perbedaan. Hampir setiap awig-awig yang dimiliki oleh setiap banjar adat selalu memiliki perbedaan dan hal itu tidak menjadi masalah karena adanya norma desa kala patra.

Selain itu, di Bali, khususnya di daerah pertanian, terdapat institusi yang mengatur pengairan sawah yang memiliki demensi keagamaan. Dengan diterapkannya sistem yang integral antara sistem pengairan sawah dan sistem keagamaan, setiap anggota (kerama subak) menjadi terikat oleh aturan-aturan dari dua sistem itu. Dengan demikian subak merupakan suatu sistem konservasi agama atau kearifan lokal yang efektif.[8]

Contoh lain, misalnya, di Desa Tambakboyo, Ambarawa, Jawa Tengah, dalam hal penganut keagamaan kendati memiliki tingkat heteroginitas penganut agama yang tinggi, dan pola tinggal penduduk yang menyebar (tidak ada pengelompokan berdasarkan agama yang dianut maupun keluarga), bahkan ada orang Kristen yang “mangku langgar” (halaman rumah menjadi satu dengan halaman musholla), namun masyarakat tetap dapat hidup harmonis. Selain itu, mereka juga memiliki budaya lokal yang lebih mengutamakan hidup rukun (sayuk), dan norma sayuk hampir selalu mendasari tindakan kebersamaan masyarakat.

Konflik yang berkepanjangan di Kabupaten Lombok Tengah telah menjadi fakta sejarah bahwa yang namanya institusi kearifan lokal sudah tidak fungsional lagi. Banyak orang berpendapat bahwa menghilangnya fungsi kearifan lokal karena intervensi pemerintah pusat, khususnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang yang sangat kental budaya Jawa ini telah menghilangkan kekuasaan raja negeri (kepala desa tradisional). Padahal kelestarian adat lama, termasuk institusi kearifan lokal, terletak di tangan raja negeri ini. Ciri-ciri lain dari undang-undang produk Orde Baru ini adalah mengharamkan perbedaan pendapat. Semua harus seragam sesuai dengan tuntutan dari pemerintah pusat. Menurut Nicola Frost (2004), sebagaimana dikutip Amri Marzali, undang-undang ini menghilangkan kemampuan untuk mengkooptasi perbedaan yang sebelumnya hidup di dalam masyarakat Maluku.[9] Padahal salah satu inti dari institusi kearifan lokal adalah pengakuan atas perbedaan dalam kesetaraan dengan cara membangun kerjasama yang positif. Institusi kerjasama ini, khususnya antar desa maupun antar agama.




Tentu saja, intervensi pemerintah tersebut bukan satu-satunya faktor penyebab tidak fungsionalnya institusi kearifan lokal. Kedatangan transmigran dab proses akulturasi budaya disamping pengaruh modernitas juga disinyalir menimbulkan ketidakseimbangan hubungan antar sesame warga




Sementara itu, konflik di Kabupaten Lombok Tengah tidak bisa diselesaikan dengan institusi yang pernah menjadi kebanggaan itu, sehingga mengundang inisiatif pihak pemerintah untuk menyelesaikan konflik dengan jalan perdamaian. Namun, perdamaian itu pun diragukan dapat menyelesaikan konflik. Karena, setelah terjadi perdamaian, konflik masih kembali meletus. Secara alami kebijakan-kebijakan lokal pun muncul untuk mengatasi konfik, karena bagaimanapun juga ada saling ketergantungan di antara sesama anggota masyarakat. Mereka yang terlibat konflik tetap saling membutuhkan. Meraka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara saling membeli atau barter. Kebijakan lokal semacam itu telah mengkondisikan mereka bisa hidup rukun kembali atau, paling tidak, dapat memperkecil kemungkinan terjadi konflik. Ini berarti masyarakat telah melakukan institutional development, yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi baik. Dengan kata lain, masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah Ambon telah melakukan rekacipta kearifan lokal yang baru, yang tepat-guna untuk menjawab tantangan social, ekonomi dan politik masa kini di Kabupaten Lombok Tengah


Demikian pula awig-awig. Sebenarnya sejak dini (1992) masyarakat Bali, khususnya masyarakat Desa Mas Kecamatan Ubud, telah merasa bahwa institusi tersebut sudah mulai melemah, terutama karena masyarakat sebagai pengawas pelanggaran awig-awig mulai kurang kepeduliannya terhadap masyarakat lingkungannya dan enggan melapor. Masyarakat cenderung ingin hidup individualis. Padahal awig-awig sebenarnya bukan merupakan suatu institusi yang mati, melainkan merupakan institusi yang hidup. Awig-awig dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman atas dasar norma desa kala patra. Sebenarnya masyarakat juga telah melakukan antisipasi atas semakin melemahnya awig-awig tersebut, antara lain, dengan membentuk pranata-pranata baru, seperi seka trunatruni yang berfungsi sebagai wahana sosialisasi adat dan agama (termasuk di dalamnya awig-awig); dan pesantian-pesantian yang merupakan wahana pendidikan luar sekolah.[10] Namun, antisipasi tersebut belum menyentuh esensi awig-awig itu sendiri. Sebagaimana terjadi pada masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah dengan kearifan local yang mereka miliki, kebijakan lokal awig-awig mandeg akibat intervensi pemerintah pusat yang sedemikian intensif selama pemerintahan Orde Baru (UU No. 5 Tahun 1979), sehingga kearifan budaya lokal itu menjadi semakin kurang fungsional dan konflik antar desa pun kerap terjadi.

Sebaliknya, kebudayaan lokal agama agemaning aji dan semboyan “yang penting hidup sayuk” yang terdapat di desa Tambakboyo masih fungsional dan masih menjadi acuan bagi masyarakat dalam berinteraksi, sehingga masyarakat dengan tingkat heteroginitas agama yang tinggi itu masih dapat hidup rukun dan damai.


Sebenarnya, hampir semua -kalau tidak bisa dikatakan seluruh- masyarakat memiliki kebijakan lokal (local wisdom) sendiri-sendiri yang bersumber dari kebudayaan masing-masing. Misalnya, suku Jawa—hampir secara umum -memiliki konsep untuk meredam konflik dengan jothaan atau neng-nengan[11] (tidak bertegur sapa atau pantang berbicara dengan lawan konfliknya); suku Melayu memiliki kebijakan lokal bahwa kalau sudah makan bersama, maka tidak ada perseteruan lagi; suku Madura memiliki semboyan dari pada berpoteh mata lebih baik berpoteh tulang (dari pada malu lebih baik mati); suku Bugis dengan siri-nya, dan suku Aceh dengan pepatah “kalau rencong sudah dicabut, pantang disarungkan.” Meskipun, kebijakan lokal yang dimiliki tiga suku yang desebutkan terakhir ini cenderung memberi peringatan kepada orang lain agar tidak mencoba memulai atau melakukan konflik (senada dengan pendapat: “jika ingin damai, maka bersiap-siaplah untuk berperang”).

Kebijakan lokal suku Madura, ketika dibawa ke daerah lain sebagai norma yang dipedomani oleh para migran dari Pulau Garam itu, bisa saja menjadi tidak fungsional, seperti yang terjadi di Kalimantan dan Jakarta atau di Kabupaten Lombok Tengah. Meskipun pada mulanya dengan budaya kekerasan suku Madura menjadi demikian dominan di berbagai daerah di Kalimantan, namun akhirnya mereka harus menuai malapetaka kekerasan yang telah mereka semai. Sementara itu, di Jakarta suku Madura juga sudah beberapa kali mendapat sambutan kekerasan dari suku Betawi, seperti di daerah Cakung dan Kramatjati. Tidak ketinggalan di Kabupaten Lombok Tengah yang masyarakatnya harus membayar dengan maraknya terjadi konflik antar desa, yang hal tersebut kerap kali diakibatkan oleh hal-hal kecil.


Setelah konflik demi konflik banyak terjadi, terutama yang terjadi antara suku pendatang dan suku pribumi, antar penganut agama dan kepercayaan yang berbeda dan konflik antar warga, para pakar mulai mencari-cari norma-norma yang bersumber dari kebudayaan lokal yang dapat digunakan sebagai peredam konflik atau bahkan dapat dijadikan sebagai penangkal agar tidak terjadi konflik. Fakta yang sangat kasat mata menunjukkan bahwa di antara suku perantau yang nyaris tidak pernah -kalau tidak boleh dikatakan sama sekali- terlibat konflik terbuka adalah suku Minang. Selain dapat meraih sukses di perantauan, suku Minang umumnya juga dapat diterima atau disambut oleh penduduk pribumi di mana pun mereka berada. Hal ini disebabkan, antara lain, karena mereka memiliki acuan budaya sebagaimana tergambar dalam ungkapan “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.” Pepatah itupun kemudian menjadi semakin populer karena banyak dikutip oleh para pejabat maupun da’i, dan disarankan agar dijadikan acuan bagi para perantau yang lain. Kendati demikian, terdapat pula berbagai stereotipe tentang suku Minang. Misalnya, di kalangan masyarakat Betawi muncul ucapan bernada mengejek (derogatory), seperti “Padang bengkok”. Dengan ungkapan tersebut, orang Betawi memandang orang Padang sangat pelit dan licik. Sebagai ilustrasi, jika orang Padang hendak mengontrak sebuah rumah, pada saat perjanjian sewa mereka mengatakan bahwa rumah itu akan ditempati 2-3 orang. Namun, dalam kenyataannya pihak yang mengontrak jauh lebih banyak dari yang disebutkan dalam perjanjian awal kontrak.


Sementara itu, di Jawa terdapat kearifan budaya lokal yang sering dan sudah lama mengalami pergeseran (salah kaprah), yaitu pepatah “mangan ora mangan waton kumpul”. Menurut salah satu sumber, pepatah itu pada mulanya diucapkan oleh Sri Mangkunegara I ketika sedang terdesak oleh tentara Belanda, “Gandeng kahanane kaya mangkene, mangan ora mangan waton kumpul” (Berhubung keadaannya seperti ini, makan tidak makan asal kumpul).[12] Kearifan lokal yang semula memiliki norma persatuan dalam semangat perjuangan, namun kemudian mengalami pergeseran menjadi bersifat pasrah (fatalis). Pepatah ini secara lengkap berubah menjadi “Tuna sathak bathi sanak, aja ngaya, ana dina ana upa, bocah nggawa rejekine dhewe-dhewe, mangan ora mangan waton kumpul.” (Rugi materi mendapat keuntungan saudara, jangan terlalu egois, ada hari ada nasi, anak membawa rezeki masing-masing, makan tidak makan asal kumpul.) Pergeseran norma-norma yang terkandung dalam kearifan budaya lokal ini sangat mungkin juga terjadi di daerah-daerah lain tidak terkecuali di Kabupaten Lombok Tengah karena pelanggengan norma-norma dalam budaya lokal hanya atas dasar ingatan dan tradisi-tradisi yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pendukungnya.


Adanya pergeseran norma kebudayaan lokal dapat pula menimbulkan upaya penolakan dari generasi tertentu. Misalnya, pepatah mangan ora mangan waton kumpul dalam pengertian kepasrahan (fatalis) sudah lama ditolak oleh sebagian masyarakat Jawa, terutama dari kalangan terpelajar. Sementara itu di Kabupaten Lombok Tengah, dengan tidak fungsionalnya kearifan lokal, timbul pula upaya rekacipta kearifan lokal baru (institutional development). Masyarakat tidak perlu lagi bermimpi membangun kearifan lokal seperti ‘bentuk asli’-nya, sebagaimana dipersepsikan selama ini. Yang penting adalah suatu rekacipta kearifan lokal baru, yang tepat guna untuk menjawab tantangan social, ekonomi dan budaya serta politik masa kini di Kabupaten Lombok Tengah.


Berdasarkan paparan di atas, ada sejumlah hal yang patut dicatat: (1) hamper setiap—kalau tidak dapat dikatakan semua—suku di Indonesia memiliki acuan normanorma dari budaya lokal masing dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok dari sesama suku atau dengan suku lain dalam kehidupan sosial-keagamaan, baik intern (sesama penganut agama yang sama) maupun ekstern (antar penganut agama yang berbeda); (2) kearifan lokal masing-masing suku ada yang masih fungsional, ada pula yang sudah tidak fungsional karena perkembangan zaman, adanya pergeseren nilai-nilai yang dipegangi oleh masyarakat, intervensi pemerintah, atau penolakan dari sebagian anggota masyarakat; (3) tetap fungsionalnya kearifan lokal tentu tidak terlepas dari proses sosialisasi yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi penerusnya; (4) kearifan lokal itu ada yang fungsional di wilayah budaya aslinya, namun ketika dibawa keluar wilayah aslinya menjadi tidak fungsional. Sebaliknya, ada norma-norma yang bersumber dari kearifan lokal suku tertentu, namun tetap fungsional di mana pun berada, bahkan menjadi acuan bagi suku-suku lain; (5) ada kemungkinan munculnya kearifan lokal baru sebagai rekacipta (institutional development) dari kearifan lokal yang sudah tidak fungsional lagi, walaupun kearifan lokal yang baru tidak sama dengan bentuk asli dari kearifan lokal yang lama.


Di propinsi Nusa Tenggara Barat sendiri khususnya di Kabupaten Lombok Tengah terkait dengan kearifan local masyarakatnya, kita banyak menjumpai kearifan local dalam mengatur system social kemasyarakatan seperti persubakan, pengaturan pemerintah desa dengan berbagai lembaga adat, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local yang berkaitan dengan pencegahan terhadap konflik.

Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana. Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih luas dan mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local terpadu yang dimiliki oleh masyarakat sasak dalam memandang suatu konflik.


Memang, hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam tentang bagaimana kearifan local terpadu masyarakat sasak menyikapi bagaimana nilai-nilai kearifan lokal disosialisasikan dari generasi ke generasi; nilai-nilai kearifan lokal manakah yang masih berlaku atau fungsional; dan bagaimana nilai kearifan yang masih fungsional itu dipedomani oleh masyarakat sebagai landasan berinteraksi, baik secara individual maupun kelompok, terutama dalam lingkup kehidupan beragama, baik secara intern maupun ekstern. Pemikiran ini setidaknya merupakan sumber bagi system penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak berharga dan sesuatu yang dapat menyelamatkan atau mencelakakan. Semua ini dapat terjadi karena kearifan local itu diselimuti oleh nilai-nilai moral yang bersumber pada agama, pandangan hidup dan pada etos atau system etika yang dimiliki oleh setiap manusia. Karenanya tema tersebut di menjadi menarik untuk dikaji.

You Might Also Like:
16388012_1853806014907972_3639366512533368995_n
2015-07-14-17.40.16-1
9653_T01877_www_gilibookings_com_uploads_content_Lombokpuralingsartempletraveltips
52410-0_663_382
pulau-gili-lombok
About Me

kami adalah travel agent lombok yang siap memberikan pelayanan terbaik selama perjalan anda dilombok. dengan service yang memberikan anda kenyamanan dan keamanan selama berkunjung ke Lombok

 

Search by Tags

© 2023 by Going Places. Proudly created with Wix.com

bottom of page